Monday, January 4, 2010

Pengertian Tabu dan Eufemisme

Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari masyarakat sekitar.

Dalam setiap kelompok masyarakat, terdapat kata-kata tertentu yang dinilai tabu. Kata-kata tersebut tidak diucapkan, atau setidaknya, tidak diucapkan di depan para tamu dalam kondisi formal dan penuh sopan santun. Kata “tabu” (taboo) diambil dari bahasa Tongan1, merupakan rumpun bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya2 yang artinya tindakan yang dilarang atau dihindari. Ketika suatu tindakan dikatakan tabu, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan tersebut juga dianggap tabu. Seseorang pada awalnya dilarang melakukan sesuatu; kemudian dilarang untuk berbicara mengenai apapun yang berhubungan dengan hal tersebut.

Tindakan dan perkataan yang terlarang merefleksikan adat-istiadat dan pandangan masyarakat. Ada beberapa kata yang boleh diucapkan dalam situasi tertentu, tetapi tidak dalam situasi yang lain; misalnya, pada masyarakat Zuni Indian, terdapat larangan mengucapkan kata takka yang berarti “katak” dalam upacara keagamaan. Kata ini digantikan dengan rangkaian kalimat yang kompleks, yang secara literal berarti “sesuatu yang duduk di sungai dan bersuara“.

Harimurti Kridalaksana membagi istilah “tabu” menjadi dua dilihat dari efek yang ditimbulkannya yaitu tabu positif karena yang dilarang itu memberi efek kekuatan yang membahayakan dan tabu negatif disebabkan larangan tersebut dapat menberikan kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang dianggap tabu tersebut, seseorang mempergunakan eufemisme.3
Dalam masyarakat pemakai bahasa, kata dan ekpresi tabu mungkin tidak terlihat senyata eufemisme, yang merupakan bentuk dari “penghalusan” keadaan-keadaan tertentu sehingga lebih pantas untuk diucapkan. Kata dan ekspresi eufemistik membuat seseorang dapat membicarakan tentang hal-hal yang tidak menyenangkan dan menetralisasikannya. Sebagai contoh ungkapan yang diekspresikan terhadap orang yang sedang sekarat dan meninggal dunia, pengangguran, dan kriminal. Kata dan ekspresi eufemistik juga memperbolehkan penutur untuk memberikan label terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak menyenangkan dan membuatnya terdengar lebih menarik. Eufemisme merupakan endemik masyarakat pada umumnya; pemujaan terhadap sesuatu yang biasa-biasa saja dan terkesan sepele menjadi terlihat serius.

Beberapa publikasi yang ditulis Nadel (khususnya tahun 1954) terdapat cerita mengenai orang-orang Nupe dari Afrika Barat yang berbeda di antara masyarakat paling sopan di dunia, yang sangat mempermasalahkan ekspresi mana yang cocok saat sedang bercakap-cakap dan mana yang tidak. Secara kontinyu mereka menggunakan circumlocution (ungkapan-ungkapan tidak langsung) dan eufemisme untuk menghindari secara langsung pengucapan hal-hal yang bersinggungan dengan bagian-bagian tubuh, fungsi-fungsi tubuh, seks, dan sebagainya yang dianggap tabu atau tidak enak (sâru:Jawa) untuk diucapkan. Pada saat yang bersamaan, mereka memperlihatkan ketertarikan yang luar biasa terhadap bahasa dan mendiskusikan kompleksitas linguistik. Hal ini terjadi dikarenakan mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan ketika menggunakan circumlocution dan eufemisme.4 Sebagaimana yang dikatakan Nadel : “Saat menggunakan metafora maupun bentuk ekspresi manipulasi lainnya, mereka (orang-orang Nupe) selalu sadar akan implikasi semantik yang ditimbulkan dari kalimat tersebut”. Orang-orang Nupe itu ternyata telah membentuk cara-cara tidak langsung yang bisa digunakan untuk mengucapkan hal-hal tabu, cara yang bisa digunakan ketika berada dalam situasi yang memungkinkan bagi mereka membebaskan diri dari aturan-aturan normal, misalnya di waktu menceritakan kisah-kisah tertentu atau saat berada dalam pesta-pesta khusus.

Tabu dan eufemisme berdampak pada setiap orang, disadari atau tidak tetapi tetap saja mempengaruhinya. Setiap manusia atau masyarakat memiliki hal-hal tertentu yang enggan untuk dibicarakan, atau yang tidak layak dibicarakan langsung secara terang-terangan. Sehingga akan muncul suatu anggapan bahwa beberapa pemikiran/perasaan tidak boleh diungkapan dengan kata-kata sebagai sesuatu yang sulit dijabarkan, dan sedapat mungkin berusaha untuk tidak mengekspresikannya meskipun kita tahu kata-kata yang bisa digunakan. Kalau pun harus diekspresikan, kita memilih menggunakan cara-cara yang tidak langsung (circumlocution).

Jenis-Jenis Tabu dan Eufemisme

Tabu memegang peranan penting dalam bahasa, yang mana permasalahan ini merupakan kategori dari ilmu semantik.5 Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Akibatnya kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Subyek yang ditabukan sangat bervariasi, seperti seks, kematian, eksresi, fungsi-fungsi anggota tubuh, persoalan agama, dan politik. Obyek yang ditabukan pun beragam antara lain mertua, perlombaan adu binatang, penggunaan jari tangan kiri (yang menunjukkan sinister/ancaman) dan sebagainya.6 Dalam hal ini untuk memudahkan pembahasan penulis ingin melihat dari segi psikologis yang melatarbelakangi munculnya istilah tabu.

Berdasarkan motivasi psikologis, kata-kata tabu muncul minimal karena tiga hal, yakni adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang membuat perasaan tidak enak (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).7 Dalam bagian ini penulis mencoba menguraikan dan memberikan contoh masing-masing jenis tabu tersebut untuk memperjelas klasifikasi dan perbedaannya dengan menyertakan masing-masing bentuk eufemistiknya.

Taboo of Fear

Segala sesuatu yang mendatangkan kekuatan yang menakutkan dan dipercaya dapat membayakan kehidupan termasuk dalam kategori tabu jenis ini. Demikian juga halnya dengan pengungkapan secara langsung nama-nama Tuhan dan makhluk halus tergolong taboo of fear. Sebagai contoh orang Yahudi dilarang menyebut nama Tuhan mereka secara langsung. Untuk itu mereka menggunakan kata lain yang sejajar maknanya dengan kata ‘master‘ dalam bahasa Inggris. Di Inggris dan Prancis secara berturut-turut digunakan kata the Lord dan Seigneur sebagai pengganti kata Tuhan. Nama-nama setan dalam bahasa Prancis pun telah diganti dengan eufemismenya, termasuk juga ungkapan l’Autre ‘the other one’.
Dalam kelompok masyarakat tertentu, kata-kata yang memiliki makna konotasi keagamaan dinilai tidak layak jika digunakan di luar upacara formal keagamaan. Umat Kristiani dilarang menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan. Larangan ini kemudian berkembang menjadi larangan terhadap penggunaan kutukan, yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Kata hell dan damn diubah menjadi heck dan darn, dengan harapan dan kepercayaan bahwa perubahan pengucapan itu akan mengelabui ‘kekuatan yang dihasilkan’ dari kata tersebut.
Di Indonesia, masyarakat Pantai Selatan pulau Jawa memandang tabu terhadap siapa saja yang melancong atau berekreasi di pantai tersebut dengan mengenakan pakaian yang berwarna merah. Pertabuan ini disebabkan karena mereka percaya bahwa makhluk ghaib Penguasa Laut Selatan yakni Nyi Roro Kidul, yang dikenal dengan Ratu Pantai Selatan tidak suka/marah dengan pengunjung yang mengenakan baju merah dan tentunya dipercaya akan ada dampak buruk yang akan diterima oleh si pelanggarnya. Contoh kasus semacam ini tentu banyak dijumpai khususnya di Indonesia sebagai negara yang multi etnik, agama, adat-istiadat dan kebudayaan.

Taboo of Delicacy

Usaha manusia untuk menghindari penunjukan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian tergolong pada jenis tabu yang kedua ini. Nama-nama penyakit tertentu secara etimologis sebenarnya merupakan bentuk eufemisme yang kemudian kehilangan nuansa eufemistisnya dan saat ini berhubungan erat dengan kata-kata yang ditabukan. Misalnya kata imbecile diambil melalui bahasa Prancis dari bahasa Latin imbecillus atau imbecillis ‘lemah’. Kata ‘cretin‘ dalam bahasa Prancis adalah bentuk dialektikal dari chretien ‘christian’ yang diambil dari bahasa Prancis dialek Swiss.
Penyakit yang diderita seseorang merupakan sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi penderitanya. Penyakit-penyakit yang referennya bersifat menjijikkan lazimnya dihindari penyebutan desfemistisnya (kata-kata yang ditabukan atau tidak enak untuk disebutkan), dan hendaknya diganti dengan bentuk eufemistisnya. Pengungkapan jenis penyakit yang mendatangkan malu dan aib seseorang tentunya akan tidak mengenakkan untuk didengar, seperti ayan, kudis, borok, kanker. Olehnya itu sebaiknya nama-nama penyakit itu diganti dengan bentuk eufemistik seperti epilepsi, scabies, abses dan CA untuk mengganti kata kanker.8 Beberapa nama penyakit yang merupakan cacat bawaan seperti buta, tuli, bisu, dan gila secara berturut-turut dapat diganti dengan kata tunanetra, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Mereka yang menderita cacat tersebut akan tidak mengenakkan atau tidak santun bila dikatakan para penderita cacat, tetapi hendaknya diganti dengan para penyandang cacat.
Keadaan sekarat dan kematian merupakan hal yang sangat tabu dalam peradaban Barat. Pada berbagai kelompok masyarakat Eropa terdapat sejumlah besar eufemisme yang berhubungan dengan kematian, karena kematian dianggap menakutkan maka tergolong tabu. Masyarakat tidak suka mendengar atau menggunakan kata die (meninggal) dan lebih cenderung menyukai kata-kata pass on atau pass away. Orang yang mengurus pemakaman lebih sering disebut sebagai funeral director (pengatur pemakaman) ketimbang kata mortician (pemilik firma pemakaman) atau undertaker (orang yang mengurus pemakaman).9

Taboo of Propriety

Tabu jenis ini berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh tertentu dan fungsinya, serta beberapa kata makian yang semuanya tidak pantas atau tidak santun untuk diungkapkan. Dalam bahasa Prancis, penyebutan kata fille yang berkenaan dengan ‘anak perempuan’ masih mendapatkan penghormatan. Akan tetapi, bila ditujukan untuk ‘wanita muda’ orang-orang harus menggunakan kata jeune fille karena kata fille sendiri sering digunakan sebagai bentuk eufemistis bagi ‘pelacur’.
Kata-kata yang berhubungan dengan seks, organ seksual, fungsi-fungsi tubuh secara alami menjadi bagian dari kata-kata tabu di berbagai kebudayaan. Bahkan ada beberapa bahasa yang tidak memiliki kata yang berarti “berhubungan seks” sehingga harus mengambil kata tersebut dari bahasa asing. Namun ada beberapa bahasa lainnya yang memiliki banyak kata untuk mengungkapkan tindakan paling umum dan universal ini, dan kebanyakan diantaranya merupakan kata-kata tabu.
Sejumlah kata atau kalimat bisa memiliki makna linguistik yang sama, hanya saja ada makna yang bisa diterima dan yang memalukan. Dalam bahasa Inggris, kata yang diambil dari bahasa Latin terdengar ” ilmiah” dan oleh karena itu dianggap “bersih” dan bersifat “teknis”, sementara kata-kata yang diambil dari warga Anglo-Saxon dianggap tabu. Fakta ini merefleksikan opini bahwa kosakata yang digunakan oleh golongan kelas atas lebih superior dan terhormat bila dibandingkan dengan yang digunakan oleh golongan kelas bawah. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa penaklukkan bangsa Norman pada tahun 1066, terjadi pembedaan pengungkapan saat “seorang putri bangsawan berkeringat menggunakan kata perspired, meludah dengan expectorated, dan datang bulan dengan menstruated. Sementara si pembantu bila berkeringat digunakan kata sweated, bertengkar dengan spat dan berdarah dengan bled“.
Demikian halnya dengan kata vagina dinilai lebih “baik/bersih” digunakan sementara kata cunt dinilai “kotor” dan tabu untuk diucapkan; atau kata prick atau cock menjadi tabu sementara kata penis diterima sebagai istilah bagian anatomi kaum laki-laki dan layak digunakan. Kata defecate (buang air besar) bisa digunakan pada semua orang tetapi pada orang-orang kasar digunakan kata shit (buang air besar). Masyarakat Inggris juga menghindari untuk menggunakan kata-kata tidak santun lainnya seperti breast (payudara), intercourse (bercinta), dan testicles (buah zakar) seperti halnya dengan sinonim kata-kata itu yakni tits (payudara), fuck (bercinta), dan ball (buah zakar). Dalam hal ini tidak ada dasar linguistik, tetapi penekanan terhadap fakta ini tidak merupakan anjuran untuk menggunakan atau tidak menggunakan kata-kata tersebut.
Hass (1951) menekankan bahwa pengucapan kata-kata tabu (tabu linguistik) tertentu agaknya berasal dari situasi bilingual. Ia memaparkan contoh pada masyarakat Creek di Oklahoma, dimana penghindaran pengucapan kata-kata fâkki (tanah), apiswa (daging), dan apîssi (gemuk) semakin meningkat disana seiring dengan semakin seringnya mereka menggunakan bahasa Inggris. Penghindaran serupa juga tampak pada para pelajar Thailand yang belajar bahasa Inggris di negara dengan masyarakat yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Mereka menghindari pengucapan kata-kata fag (baju ketat) dan phrig (cabai) dalam anglophone, karena memiliki bunyi fonetik yang mirip dan nyaris sama dengan kata-kata yang ditabukan dalam bahasa Inggris yaitu fuck dan prick. Sebaliknya, masyarakat Thailand juga seringkali sulit mengucapkan kata yet dan key karena memiliki bunyi fonetik yang mirip dengan kata jed yang dalam bahasa Thailand berarti “berhubungan seks” dan khîi yang berarti “kotoran”. Dalam situasi tertentu, seseorang sampai merubah namanya disebabkan hanya karena nama tersebut menimbulkan rasa malu bila diucapkan dalam kerangka linguistik yang berbeda, misalnya nama Vietnam “Phuc‘ dalam sebuah kelompok anglophone.
Contoh lain yang merupakan proses pentabuan kata yang “hampir sama bunyinya” dengan bunyi kata yang ditabukan itu adalah apa yang pernah terjadi di Malaysia. Di Malaysia kata butuh ditabukan karena dianggap porno. Mantan perdana menteri Pakistan yang bernama Ali Bhutto yang namanya mirip dengan kata butuh itu kemudian disebut atau dilafalkan Ali Bhatto.10
Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat-alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh kaum wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli kaum pria.
Kita tentu bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapa pun gembiranya, tidak akan mau bertempik sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya, kata tempik dalam bahasa Jawa bermakna ’kemaluan perempuan’. Artinya, kita boleh saja bertempik sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa. Padahal, kata tempik dalam bahasa Melayu berarti ’sorak’, dan tempik sorak semacam kata majemuk yang berarti ’bersorak-sorak’ atau ’bersorak-sorai’.
Ketika seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut momok, para hadirin yang sebagian besar kaum wanita pun senyum dikulum, lalu tertawa cekikikan. Sambil berbisik di antara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam bahasa Jawa sebagai ’hantu’ itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa Jawa, yaitu ’kemaluan perempuan’.11
Pemaparan contoh-contoh kata tabu dan eufemisme dari ketiga jenis tabu di atas tentunya merupakan sebagian kecil saja dari apa yang terjadi atau ditemukan pada setiap lingukungan masyarakat pemakai bahasa. Olehnya itu tentu masih banyak lagi contoh-contoh kasus lain yang merupakan fenomena penggunaan kata-kata dan prilaku tabu yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang linguistik atau sosiolinguistik.

1 Rodman, Robert., An Introduction to Language (USA: The Dryden Press, 1988), hlm.279.

2 Ullmann, dalam I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi “Sosiolinguistik;Kajian Teori dan Analisis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.110.

3 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm.233.

4 Wardhaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics (Oxford : BasilBackwell, 1986), hlm. 237.

5 Sumarsono, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), hlm. 106.

6 Wardhaugh, Ronald. An Introduction…..hlm.236.

7 Ullmann, dalam I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi “Sosiolinguistik;Kajian Teori dan Analisis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.111.


8 I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Semantik; Teori dan Analisis (Surakarta: Yuma Pustaka, 2008), hlm.101.

9 Rodman, Robert., An Introduction…hlm.280.

10 Sumarsono, Sosiolinguistik ….hlm. 107.

11 “Menghindari Kata Tabu” dalam Harian Kompas, tanggal 16 Agustus 2003.


July 3, 2008 - Posted by nanoazza | Uncategorized | | No Comments Yet


http://nanoazza.wordpress.com/2008/07/03/ta

No comments:

Post a Comment