Monday, January 4, 2010

PROSA FIKSI

Pengertian dan sejarah Cerita Pendek
Prosa fiksi adalah jenis karya sastra yang menggambarkan bahasa yang panjang, bebas, rinci dalam teknik pengungkapannya. Sedangkan dalam pembahasan makalah yang saya sajikan, makalah ini berkaitan dengan prosa baru yaitu cerita rekaan (cerkan). Adapun pengertian cerpen atau cerita pendek adalah cerita pendek yang mengambarkan peristiwa yang dialami oleh sang tokoh yang tidak memungkinkan perubahan nasib. Karena terlalu pendek, cerpen sering pula disebut cerita yang dapat di baca dalam satu kali duduk.(Khoiruddin, 2007:208-210)
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya.

Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.

Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite lebih menyaran pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.

Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
Namun apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846). Definisi-definisi lainnya menyebutkan baas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata.

Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam novelette, novella, atau novel.

B. Unsur-Unsur Intrinsik Cerita Pendek

Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari

a. Tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh
b. Tema dan amanat
c. Latar
d. Alur
e. Sudut pandang/gaya penceritaaan
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut

1. TOKOH
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
2. PENOKOHAN
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c. Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu
a. Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh.
d. Melalui pikiran-pikirannya
e. Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.
3. ALUR
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
a. Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b. Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c. Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)
Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.

Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.
Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a. faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b. Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a. alur berdasarkan urutan waktu
b. alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c. alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.
4. LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
MACAM LATAR
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
FUNGSI LATAR
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras

5. TEMA DAN AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Ada beberapa macam tema, yaitu
a. Ada tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan
b. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisit
c. Ada tema yang dinyatakan secara simbolik
d. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya
Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
a. niat pribadi
b. selera pembaca
c. keinginan penerbit atau penguasa.
Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna aniatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatan
a. pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya.
b. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta.
Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.
Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
6. POINT OF VIEW
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
b. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b. Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a. Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b. Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c. Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a. Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c. Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d. Pengarang serba tahu.

COBA KAWAN DIJELASKAN LEBIH DETAIL

1.APA ANDA SERING TERKENA SINDIRAN?


2. FUNGSI DAN TUJUAN SINDIRAN ITU APA?
Pengertian Tabu dan Eufemisme

Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari masyarakat sekitar.

Dalam setiap kelompok masyarakat, terdapat kata-kata tertentu yang dinilai tabu. Kata-kata tersebut tidak diucapkan, atau setidaknya, tidak diucapkan di depan para tamu dalam kondisi formal dan penuh sopan santun. Kata “tabu” (taboo) diambil dari bahasa Tongan1, merupakan rumpun bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya2 yang artinya tindakan yang dilarang atau dihindari. Ketika suatu tindakan dikatakan tabu, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan tersebut juga dianggap tabu. Seseorang pada awalnya dilarang melakukan sesuatu; kemudian dilarang untuk berbicara mengenai apapun yang berhubungan dengan hal tersebut.

Tindakan dan perkataan yang terlarang merefleksikan adat-istiadat dan pandangan masyarakat. Ada beberapa kata yang boleh diucapkan dalam situasi tertentu, tetapi tidak dalam situasi yang lain; misalnya, pada masyarakat Zuni Indian, terdapat larangan mengucapkan kata takka yang berarti “katak” dalam upacara keagamaan. Kata ini digantikan dengan rangkaian kalimat yang kompleks, yang secara literal berarti “sesuatu yang duduk di sungai dan bersuara“.

Harimurti Kridalaksana membagi istilah “tabu” menjadi dua dilihat dari efek yang ditimbulkannya yaitu tabu positif karena yang dilarang itu memberi efek kekuatan yang membahayakan dan tabu negatif disebabkan larangan tersebut dapat menberikan kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang dianggap tabu tersebut, seseorang mempergunakan eufemisme.3
Dalam masyarakat pemakai bahasa, kata dan ekpresi tabu mungkin tidak terlihat senyata eufemisme, yang merupakan bentuk dari “penghalusan” keadaan-keadaan tertentu sehingga lebih pantas untuk diucapkan. Kata dan ekspresi eufemistik membuat seseorang dapat membicarakan tentang hal-hal yang tidak menyenangkan dan menetralisasikannya. Sebagai contoh ungkapan yang diekspresikan terhadap orang yang sedang sekarat dan meninggal dunia, pengangguran, dan kriminal. Kata dan ekspresi eufemistik juga memperbolehkan penutur untuk memberikan label terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang tidak menyenangkan dan membuatnya terdengar lebih menarik. Eufemisme merupakan endemik masyarakat pada umumnya; pemujaan terhadap sesuatu yang biasa-biasa saja dan terkesan sepele menjadi terlihat serius.

Beberapa publikasi yang ditulis Nadel (khususnya tahun 1954) terdapat cerita mengenai orang-orang Nupe dari Afrika Barat yang berbeda di antara masyarakat paling sopan di dunia, yang sangat mempermasalahkan ekspresi mana yang cocok saat sedang bercakap-cakap dan mana yang tidak. Secara kontinyu mereka menggunakan circumlocution (ungkapan-ungkapan tidak langsung) dan eufemisme untuk menghindari secara langsung pengucapan hal-hal yang bersinggungan dengan bagian-bagian tubuh, fungsi-fungsi tubuh, seks, dan sebagainya yang dianggap tabu atau tidak enak (sâru:Jawa) untuk diucapkan. Pada saat yang bersamaan, mereka memperlihatkan ketertarikan yang luar biasa terhadap bahasa dan mendiskusikan kompleksitas linguistik. Hal ini terjadi dikarenakan mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan ketika menggunakan circumlocution dan eufemisme.4 Sebagaimana yang dikatakan Nadel : “Saat menggunakan metafora maupun bentuk ekspresi manipulasi lainnya, mereka (orang-orang Nupe) selalu sadar akan implikasi semantik yang ditimbulkan dari kalimat tersebut”. Orang-orang Nupe itu ternyata telah membentuk cara-cara tidak langsung yang bisa digunakan untuk mengucapkan hal-hal tabu, cara yang bisa digunakan ketika berada dalam situasi yang memungkinkan bagi mereka membebaskan diri dari aturan-aturan normal, misalnya di waktu menceritakan kisah-kisah tertentu atau saat berada dalam pesta-pesta khusus.

Tabu dan eufemisme berdampak pada setiap orang, disadari atau tidak tetapi tetap saja mempengaruhinya. Setiap manusia atau masyarakat memiliki hal-hal tertentu yang enggan untuk dibicarakan, atau yang tidak layak dibicarakan langsung secara terang-terangan. Sehingga akan muncul suatu anggapan bahwa beberapa pemikiran/perasaan tidak boleh diungkapan dengan kata-kata sebagai sesuatu yang sulit dijabarkan, dan sedapat mungkin berusaha untuk tidak mengekspresikannya meskipun kita tahu kata-kata yang bisa digunakan. Kalau pun harus diekspresikan, kita memilih menggunakan cara-cara yang tidak langsung (circumlocution).

Jenis-Jenis Tabu dan Eufemisme

Tabu memegang peranan penting dalam bahasa, yang mana permasalahan ini merupakan kategori dari ilmu semantik.5 Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Akibatnya kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Subyek yang ditabukan sangat bervariasi, seperti seks, kematian, eksresi, fungsi-fungsi anggota tubuh, persoalan agama, dan politik. Obyek yang ditabukan pun beragam antara lain mertua, perlombaan adu binatang, penggunaan jari tangan kiri (yang menunjukkan sinister/ancaman) dan sebagainya.6 Dalam hal ini untuk memudahkan pembahasan penulis ingin melihat dari segi psikologis yang melatarbelakangi munculnya istilah tabu.

Berdasarkan motivasi psikologis, kata-kata tabu muncul minimal karena tiga hal, yakni adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang membuat perasaan tidak enak (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).7 Dalam bagian ini penulis mencoba menguraikan dan memberikan contoh masing-masing jenis tabu tersebut untuk memperjelas klasifikasi dan perbedaannya dengan menyertakan masing-masing bentuk eufemistiknya.

Taboo of Fear

Segala sesuatu yang mendatangkan kekuatan yang menakutkan dan dipercaya dapat membayakan kehidupan termasuk dalam kategori tabu jenis ini. Demikian juga halnya dengan pengungkapan secara langsung nama-nama Tuhan dan makhluk halus tergolong taboo of fear. Sebagai contoh orang Yahudi dilarang menyebut nama Tuhan mereka secara langsung. Untuk itu mereka menggunakan kata lain yang sejajar maknanya dengan kata ‘master‘ dalam bahasa Inggris. Di Inggris dan Prancis secara berturut-turut digunakan kata the Lord dan Seigneur sebagai pengganti kata Tuhan. Nama-nama setan dalam bahasa Prancis pun telah diganti dengan eufemismenya, termasuk juga ungkapan l’Autre ‘the other one’.
Dalam kelompok masyarakat tertentu, kata-kata yang memiliki makna konotasi keagamaan dinilai tidak layak jika digunakan di luar upacara formal keagamaan. Umat Kristiani dilarang menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan. Larangan ini kemudian berkembang menjadi larangan terhadap penggunaan kutukan, yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Kata hell dan damn diubah menjadi heck dan darn, dengan harapan dan kepercayaan bahwa perubahan pengucapan itu akan mengelabui ‘kekuatan yang dihasilkan’ dari kata tersebut.
Di Indonesia, masyarakat Pantai Selatan pulau Jawa memandang tabu terhadap siapa saja yang melancong atau berekreasi di pantai tersebut dengan mengenakan pakaian yang berwarna merah. Pertabuan ini disebabkan karena mereka percaya bahwa makhluk ghaib Penguasa Laut Selatan yakni Nyi Roro Kidul, yang dikenal dengan Ratu Pantai Selatan tidak suka/marah dengan pengunjung yang mengenakan baju merah dan tentunya dipercaya akan ada dampak buruk yang akan diterima oleh si pelanggarnya. Contoh kasus semacam ini tentu banyak dijumpai khususnya di Indonesia sebagai negara yang multi etnik, agama, adat-istiadat dan kebudayaan.

Taboo of Delicacy

Usaha manusia untuk menghindari penunjukan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian tergolong pada jenis tabu yang kedua ini. Nama-nama penyakit tertentu secara etimologis sebenarnya merupakan bentuk eufemisme yang kemudian kehilangan nuansa eufemistisnya dan saat ini berhubungan erat dengan kata-kata yang ditabukan. Misalnya kata imbecile diambil melalui bahasa Prancis dari bahasa Latin imbecillus atau imbecillis ‘lemah’. Kata ‘cretin‘ dalam bahasa Prancis adalah bentuk dialektikal dari chretien ‘christian’ yang diambil dari bahasa Prancis dialek Swiss.
Penyakit yang diderita seseorang merupakan sesuatu hal yang tidak menyenangkan bagi penderitanya. Penyakit-penyakit yang referennya bersifat menjijikkan lazimnya dihindari penyebutan desfemistisnya (kata-kata yang ditabukan atau tidak enak untuk disebutkan), dan hendaknya diganti dengan bentuk eufemistisnya. Pengungkapan jenis penyakit yang mendatangkan malu dan aib seseorang tentunya akan tidak mengenakkan untuk didengar, seperti ayan, kudis, borok, kanker. Olehnya itu sebaiknya nama-nama penyakit itu diganti dengan bentuk eufemistik seperti epilepsi, scabies, abses dan CA untuk mengganti kata kanker.8 Beberapa nama penyakit yang merupakan cacat bawaan seperti buta, tuli, bisu, dan gila secara berturut-turut dapat diganti dengan kata tunanetra, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Mereka yang menderita cacat tersebut akan tidak mengenakkan atau tidak santun bila dikatakan para penderita cacat, tetapi hendaknya diganti dengan para penyandang cacat.
Keadaan sekarat dan kematian merupakan hal yang sangat tabu dalam peradaban Barat. Pada berbagai kelompok masyarakat Eropa terdapat sejumlah besar eufemisme yang berhubungan dengan kematian, karena kematian dianggap menakutkan maka tergolong tabu. Masyarakat tidak suka mendengar atau menggunakan kata die (meninggal) dan lebih cenderung menyukai kata-kata pass on atau pass away. Orang yang mengurus pemakaman lebih sering disebut sebagai funeral director (pengatur pemakaman) ketimbang kata mortician (pemilik firma pemakaman) atau undertaker (orang yang mengurus pemakaman).9

Taboo of Propriety

Tabu jenis ini berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh tertentu dan fungsinya, serta beberapa kata makian yang semuanya tidak pantas atau tidak santun untuk diungkapkan. Dalam bahasa Prancis, penyebutan kata fille yang berkenaan dengan ‘anak perempuan’ masih mendapatkan penghormatan. Akan tetapi, bila ditujukan untuk ‘wanita muda’ orang-orang harus menggunakan kata jeune fille karena kata fille sendiri sering digunakan sebagai bentuk eufemistis bagi ‘pelacur’.
Kata-kata yang berhubungan dengan seks, organ seksual, fungsi-fungsi tubuh secara alami menjadi bagian dari kata-kata tabu di berbagai kebudayaan. Bahkan ada beberapa bahasa yang tidak memiliki kata yang berarti “berhubungan seks” sehingga harus mengambil kata tersebut dari bahasa asing. Namun ada beberapa bahasa lainnya yang memiliki banyak kata untuk mengungkapkan tindakan paling umum dan universal ini, dan kebanyakan diantaranya merupakan kata-kata tabu.
Sejumlah kata atau kalimat bisa memiliki makna linguistik yang sama, hanya saja ada makna yang bisa diterima dan yang memalukan. Dalam bahasa Inggris, kata yang diambil dari bahasa Latin terdengar ” ilmiah” dan oleh karena itu dianggap “bersih” dan bersifat “teknis”, sementara kata-kata yang diambil dari warga Anglo-Saxon dianggap tabu. Fakta ini merefleksikan opini bahwa kosakata yang digunakan oleh golongan kelas atas lebih superior dan terhormat bila dibandingkan dengan yang digunakan oleh golongan kelas bawah. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa penaklukkan bangsa Norman pada tahun 1066, terjadi pembedaan pengungkapan saat “seorang putri bangsawan berkeringat menggunakan kata perspired, meludah dengan expectorated, dan datang bulan dengan menstruated. Sementara si pembantu bila berkeringat digunakan kata sweated, bertengkar dengan spat dan berdarah dengan bled“.
Demikian halnya dengan kata vagina dinilai lebih “baik/bersih” digunakan sementara kata cunt dinilai “kotor” dan tabu untuk diucapkan; atau kata prick atau cock menjadi tabu sementara kata penis diterima sebagai istilah bagian anatomi kaum laki-laki dan layak digunakan. Kata defecate (buang air besar) bisa digunakan pada semua orang tetapi pada orang-orang kasar digunakan kata shit (buang air besar). Masyarakat Inggris juga menghindari untuk menggunakan kata-kata tidak santun lainnya seperti breast (payudara), intercourse (bercinta), dan testicles (buah zakar) seperti halnya dengan sinonim kata-kata itu yakni tits (payudara), fuck (bercinta), dan ball (buah zakar). Dalam hal ini tidak ada dasar linguistik, tetapi penekanan terhadap fakta ini tidak merupakan anjuran untuk menggunakan atau tidak menggunakan kata-kata tersebut.
Hass (1951) menekankan bahwa pengucapan kata-kata tabu (tabu linguistik) tertentu agaknya berasal dari situasi bilingual. Ia memaparkan contoh pada masyarakat Creek di Oklahoma, dimana penghindaran pengucapan kata-kata fâkki (tanah), apiswa (daging), dan apîssi (gemuk) semakin meningkat disana seiring dengan semakin seringnya mereka menggunakan bahasa Inggris. Penghindaran serupa juga tampak pada para pelajar Thailand yang belajar bahasa Inggris di negara dengan masyarakat yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Mereka menghindari pengucapan kata-kata fag (baju ketat) dan phrig (cabai) dalam anglophone, karena memiliki bunyi fonetik yang mirip dan nyaris sama dengan kata-kata yang ditabukan dalam bahasa Inggris yaitu fuck dan prick. Sebaliknya, masyarakat Thailand juga seringkali sulit mengucapkan kata yet dan key karena memiliki bunyi fonetik yang mirip dengan kata jed yang dalam bahasa Thailand berarti “berhubungan seks” dan khîi yang berarti “kotoran”. Dalam situasi tertentu, seseorang sampai merubah namanya disebabkan hanya karena nama tersebut menimbulkan rasa malu bila diucapkan dalam kerangka linguistik yang berbeda, misalnya nama Vietnam “Phuc‘ dalam sebuah kelompok anglophone.
Contoh lain yang merupakan proses pentabuan kata yang “hampir sama bunyinya” dengan bunyi kata yang ditabukan itu adalah apa yang pernah terjadi di Malaysia. Di Malaysia kata butuh ditabukan karena dianggap porno. Mantan perdana menteri Pakistan yang bernama Ali Bhutto yang namanya mirip dengan kata butuh itu kemudian disebut atau dilafalkan Ali Bhatto.10
Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat-alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh kaum wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli kaum pria.
Kita tentu bertanya-tanya mengapa perempuan Jawa, betapa pun gembiranya, tidak akan mau bertempik sorak. Mereka tentu saja turut bersorak-sorak atau bersorak-sorai, mungkin lebih bersemangat dari yang lain. Namun, jangan harapkan mereka mau mengatakan bertempik sorak, apalagi hanya bertempik. Masalahnya, kata tempik dalam bahasa Jawa bermakna ’kemaluan perempuan’. Artinya, kita boleh saja bertempik sorak di daerah lain asal jangan di lingkungan masyarakat penutur bahasa Jawa. Padahal, kata tempik dalam bahasa Melayu berarti ’sorak’, dan tempik sorak semacam kata majemuk yang berarti ’bersorak-sorak’ atau ’bersorak-sorai’.
Ketika seorang tokoh perempuan Jawa berceramah dalam pertemuan yang sebagian besar pesertanya perempuan Sunda menganjurkan agar jangan takut momok, para hadirin yang sebagian besar kaum wanita pun senyum dikulum, lalu tertawa cekikikan. Sambil berbisik di antara sesama mereka, mereka katakan mana mungkin takut momok. Bukankah sebagai perempuan mereka tidak akan mungkin meninggalkannya sejenak? Si penceramah yang memaksudkan momok yang dalam bahasa Jawa sebagai ’hantu’ itu terjerembab ke dalam kenyataan lain. Dalam bahasa Sunda, kata momok bermakna sama dengan tempik dalam bahasa Jawa, yaitu ’kemaluan perempuan’.11
Pemaparan contoh-contoh kata tabu dan eufemisme dari ketiga jenis tabu di atas tentunya merupakan sebagian kecil saja dari apa yang terjadi atau ditemukan pada setiap lingukungan masyarakat pemakai bahasa. Olehnya itu tentu masih banyak lagi contoh-contoh kasus lain yang merupakan fenomena penggunaan kata-kata dan prilaku tabu yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang linguistik atau sosiolinguistik.

1 Rodman, Robert., An Introduction to Language (USA: The Dryden Press, 1988), hlm.279.

2 Ullmann, dalam I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi “Sosiolinguistik;Kajian Teori dan Analisis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.110.

3 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm.233.

4 Wardhaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics (Oxford : BasilBackwell, 1986), hlm. 237.

5 Sumarsono, Sosiolinguistik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), hlm. 106.

6 Wardhaugh, Ronald. An Introduction…..hlm.236.

7 Ullmann, dalam I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi “Sosiolinguistik;Kajian Teori dan Analisis” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.111.


8 I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Semantik; Teori dan Analisis (Surakarta: Yuma Pustaka, 2008), hlm.101.

9 Rodman, Robert., An Introduction…hlm.280.

10 Sumarsono, Sosiolinguistik ….hlm. 107.

11 “Menghindari Kata Tabu” dalam Harian Kompas, tanggal 16 Agustus 2003.


July 3, 2008 - Posted by nanoazza | Uncategorized | | No Comments Yet


http://nanoazza.wordpress.com/2008/07/03/ta

Sunday, January 3, 2010

BERTANYA MENGAPA SINDIRAN SUDAH MEMBUDAYA DI MASYARAKAT DEWASA INI?


Pertanyaan untuk anda perlu diresapi





1.Menurut anda bagaimana untuk menghindari sindiran?

2. Apa fungsi sindiran tersebut?

Gaya Bahasa Bertutur dalam Penggunaan Sindiran

Gaya bahasa atau style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat untuk mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kalau pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian indah. Maka, style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempengaruhi kata-kata secara indah. (dalam Keraf, 2006:112)
Dengan perkembangan masalah gaya bahasa atau style dalam kebahasaan, tentunya bagian-bagian ini tidak terlepas dari diksi atau pilihan kata yang menjadi persoalan. Karena, jangkauan bahasa sangat luas dari kata, frase, klausa, kalimat, dan bahkan wacana dari keseluruhan. Bahkan, nada yang ada dalam wacana itu juga sebagian dari gaya bahasa.

Ada dua aliran yang terkenal yang sudah mengembangkan sendiri teori-teori style, yakni orang Yunani. Yang pertama aliran Platonik, menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style ada juga yang tidak memiliki style. Sedangkan, aliran Aristoteles, menganggap bahwa gaya adalah suatu ungkapan yang inheren, yang ada dalam ungkapan.

Dengan demikian, aliran Plato mengungkapkan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya aliran Aristoteles, mengatakan bahwa karya memiliki gaya, tetapi ada karya yang memiliki karya tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek. (dalam Keraf, 2006:112-113)
Dari penjelasan di atas, gaya bahasa atau style adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. (Keraf, 2006:113). Ada pula yang mengartikan menurut Dekdikbud (1193:297) gaya bahasa yakni, i. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur dan menulis, ii. Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, iii. Keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra, iv. Cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. (dalam Pateda, 2001:233) Jadi, gaya bahasa adalah cara seseorang untuk mengungkapkan sesuatu dalam bentuk tulisan atau lisan yang keseluruhannya mempunyai maksud tersendiri.
Untuk membedakan gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut : kejujuran, sopan-santun, dan menarik.


a. Kejujuran
Kejujuran dalam kehidupan dapat bermanfaat bagi kita dan orang lain. Terkadang orang lain meminta berbuat sebaliknya dari itu. Maka, jalan lain bagi mereka melakukan hal-hal yang tidak mengindahkan kejujuran akan timbul sifat yang tidak ingin kita lakukan (ketidakjujuran).
Begitu pula dalam pemakaiaan kata-kata, pemakaiaan kata-kata yang panjang dan berbelit-belit adalah jalan mengundang ketidakjujuran. Penutur menggunakan kata-kata yang panjang dan berbelit-belit sebagai ungkapan untuk menyembunyikan maksud-maksud yang diungkapkan untuk mengelabui mitra tutur dalam berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa adalah alat untuk bertemu dan bergaul.


b. Sopan-Santun
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Maksudnya, gaya bahasa dalam menyampaikan sesuatu harus melalui kejelasan dan kesingkatan.
Jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar membuka kamus untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Sedangkan kesingkatan sebagai usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien dengan tidak menghambur-hamburkan kata. Dengan demikian kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun.


c. Menarik
Sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen yaitu : variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayalan (imajinasi).
Dalam penggunaan variasi seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam kosa kata, memiliki kemauan untuk mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan strukturstruktur morfologis. Humor yang sehat berarti : gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.
Sesuai dengan batasan masalah gaya bahasa sindiran akan dijelaskan sebagai berikut :


2.4.1 Ironi
Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Yang dimaksudkan ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. (Keraf, 2006:143)
Sebagai bahasa kiasan, ironi tidak hanya ditafsirkan dari sebuah kalimat saja, tetapi juga harus diturunkan dari sebuah uraian. Maka dari itu, pembaca apabila tidak kritis dalam menafsirkan sebuah ironi maka akan bertentangan dengan apa yang dimaksud penulis atau berada dengan apa yang dimaksud pembaca kritis.
Dengan demikian, untuk memahami semacam itu pembaca atau pendengar harus meresapi dalam baris atau nada-nada suara, bukan hanya pada uraian itu saja, dan pembaca harus berhati-hati dalam batas antara perasaan dan artinya. Misalnya,
- Tidak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya !
- Saya tahu anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat !


2.4.2 Sinisme
Sinisme diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan. Tetapi kemudian menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya.
Jadi, sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan dan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. (Keraf, 2006:143) Apabila contoh diatas diubah, maka akan dijumpai gaya yang bersifat sinis yakni :
- Tidak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu !
- Memang anda adalah seoarng gadis tercntik di Seantero jagad raya ini yang mampu menghancurkanm seluruh jagad raya ini.


2.4.3 Sarkasme
Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani, sarkasmos. Yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah” atau ‘berbicara dengan kepahitan”. Jadi, sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. (Keraf, 2006:143)
Maka dari itu, sarkasme dalam pengucapannya dapat bersifat ironis, dapat juga tidak. Tetapi yang jelas adalah gaya bahasa yang sangat kasar dan selalu menyakiti hati bagi mitra tutur. Misalnya :
- Mulut kau harimau kau.
- Lihat sang raksasa itu (maksudnya si cebol)
- Kelakuanmu memuakkan saya.

ISLAMISASI ILMU KONTEMPORER

Oleh: Husni Mubarak A. Latief
Alumnus Universitas Al-Azhar Cairo
Mahasiswa S2 Universitas Umm Darman, Sudan

Melalui tulisannya yang dimuat di situs ini (Aceh Institute) beberapa waktu lalu, Sahabat Mukhlisuddin Ilyas, S.Pd.I(Islamisasi Ilmu Pengetahuan) telah memaparkan secara global wawasan serta gagasan Islamisasi Ilmu. Sebuah apresiasi patut diberikan atas usahanya mengangkat wacana itu dalam tulisan mengingat ide yang mengemuka di kalangan pemikir Muslim sejak era 70-an itu masih dan tetap layak untuk dibahas serta dikaji dalam upaya bersama merajut sebuah peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islami.

Namun sedikit “catatan pinggir” sebagai tanggapan sekaligus koreksi perlu diberikan atas
sejumlah fallacy yang terdapat dalam tulisan tersebut, baik dalam mengutip pandangan pemikiran seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas, maupun dalam menyimpulkan konsep dasar serta latar belakang gagasan Islamisasi Ilmu.


Sejumlah Fallacy
Ada beberapa hal yang mesti ditelisik lebih jauh atas tulisan yang bertajuk “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” tersebut. Di salah satu bagiannya, mungkin karena salah kutip, dikemukakan bahwa SMN Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban Islamisasi Ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (inter-related characteristics): Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler; Pembelaan terhadap doktrin humanisme; serta peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transedental.

Jika dirujuk lebih jauh dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Al-Attas menyebut ke lima faktor di atas sebagai hal-hal yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, dan itu yang menjadi tekanan kritikannya. Bagaimana mungkin Al-Attas, seorang pemikir Muslim yang dengan tegas menolak paham humanisme justru berbalik mendukung doktrin tersebut?

Kekhawatiran Al-Attas berangkat dari pandangan bahwa ke lima elemen yang membentuk watak kebudayaan serta peradaban Barat itu, kini menular dalam semua bidang ilmu khususnya di bidang sains, ilmu-ilmu fisika dan terapan, dll, yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang berwatak sekuleristik, materialistik, serta utilitarianistik (asas manfaat).

Kekhawatiran itu lantas berujung pada sikap penolakan beliau serta menyarankan agar unsur konsep utama Islam yang terdiri dari: manusia; diin (agama) ; ‘ilm (ilmu) dan ma’rifah (pengetahuan); hikmah; ‘adl (keadilan); amal-adab; serta konsep kulliyyah-jami’ah untuk mereposisi serta mengambil alih konsep-konsep dari Barat tersebut.

Dari sini gagasan Islamisasi ilmu diluncurkan melalui dua proses yang saling berhubungan: membuang unsur-unsur kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini (kontemporer), serta menyerapkan konsep-konsep kunci Islam dalam setiap disiplin ilmu kontemporer yang relevan.

Perlu disebutkan pula, bahwa selain menggagas konsep Islamisasi ilmu, Al-Attas juga ‘bermain’ pada tataran kebahasaan (semantik). Inilah yang membedakannya dari Ismail Raji Al-Faruqi, misalnya, yang dulunya merupakan Guru Besar Studi Islam di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat, dan juga turut menggagas serta menyebarkan diskursus Islamisasi Ilmu tersebut.

Menurut pendapat Al-Attas, bahasa—tidak bisa tidak—sangat berkait erat dengan pemikiran dan konsep. Dan itu pada akhirnya akan membentuk suatu pandangan dunia (worldview/weltanschauung). Dalam menerjemahkan Islamisasi ilmu misalkan, Al-Faruqi cenderung mengalihbahasakannya dengan Islamiyyatul Ma’rifah atau Islamization of Knowledge, yang bermakna bahwa segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti ‘di-Islamkan’.

Sedangkan Al-Attas justru menerjemahkannya dengan Islamiyyat al-‘Ulum al-Mu’ashirah atau padanannya dalam bahasa Inggris Islamization of Contemporary or
Present Day Knowledge. Jadi yang mesti melalui proses Islamisasi, dalam pandangan Al-Attas, hanyalah ilmu-ilmu kontemporer atau pengetahuan saat ini yang berpandangan-hidup Barat serta telah mengalami sekularisasi. Sementara tradisi Islam (ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an), masih menurut Al-Attas, tak perlu lagi Islamisasi sebab ia tak pernah terpisah dari Tuhan sebagai sumber segala ilmu dan Hakikat sebenarnya.

Perbedaan yang tajam dalam penerjemahan dan pandangan ini mestilah diperhatikan agar tak keliru dalam memahami perbedaan mendasar gagasan serta konsep Islamisasi ilmu dari kedua pemikir.

Karena alasan kebahasaan pula Al-Attas tak mau menerjemahkan secara serampangan kata sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah maupun ‘almaniyyah dalam bahasa Arab sebagaimana jamak dikenal orang. Sebab baik kata ‘ilmaniyyah (dari akar kata ‘ilm = ilmu) maupun ‘almaniyyah (dari akar kata ‘alam = alam) tak punya kaitan sama sekali dengan sekularisme seperti dikenal di Barat. Dan kedua kata itu juga mengandung makna yang positif, tapi tidak demikian halnya dengan sekularisme. Dari itu teranglah bahwa bahasa memiliki kaitan erat dengan konsep dan pemikiran, serta membentuk worldview.

Kritik atas Epistemologi Barat
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi
dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi.

Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.

Sejarah pertentangan antara gerejawan dengan ilmuan; pergumulan yang tak harmonis melibatkan pemuka agama Kristen dengan para saintis di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Age) telah melahirkan desakan pencerahan pemikiran yang dikenal dengan Renaissance/Enlightenment/Aufklarung, masing-masing di Italia, Prancis, Inggris dan Jerman.

Keterkungkungan kaum gerejawan yang dianggap menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengimani Bible yang telah banyak diselewengkan, hingga inkuisisi Galileo Galilea yang berpandangan Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) dan bukan sebagaimana diyakini pemuka gereja yang Geosentris (bumi yang menjadi pusat tata surya), justru dijawab para ilmuwan Barat di masa pencerahan dengan “sekularisasi”.

Mereka menanggalkan agama karena dianggap telah menghadang perkembangan sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme, dll.

Epistemologi Barat demikian tampak jelas pada logika positivisme (al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari panca indra (empiris) serta akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap “ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian logika positivisme hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna di balik materi (metaphysic).

Pernyataan itu dengan tegas diutarakan Immanuel Kant, filosof asal Jerman, bahwa metafisika tak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological values). Perubahan ini kian bertambah ekstrim seiring munculnya Post-Modernisme yang, lewat dekonstruksinya, bukan saja menggugat setiap yang mapan, tetapi juga menggiring manusia ke arah relativisme-nihilistik. Di sinilah gagasan Islamisasi ilmu muncul melalui pendekatan epistemologi.

Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu: wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya, juga merupakan sumber pengetahuan.

Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: ‘alam ghayb (metaphysic) dan ‘alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.

Berangkat dari sini, teranglah bahwa gagasan Islamisasi Ilmu Kontemporer—sebagaimana diistilahkan Al-Attas—merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap krisis epistemologi yang melanda tak hanya Dunia Islam, tapi juga budaya dan peradaban Barat.

Khatimah
Gagasan Islamisasi Ilmu yang berkembang sejak era 70-an di kalangan pemikir Muslim pada dasarnya tidaklah dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan sikap apologetik umat Islam: “segalanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.” Bukan pula untuk sekadar menambah embel-embel Islam sebagai ‘baju’ di setiap disiplin ilmu seperti psikologi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, dll. yang disertai dengan sejumlah ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi guna menguatkan suatu teori atau pandangan. Lebih dari itu, konsep dan ide mulia tersebut berupaya melenyapkan pandangan sekularisasi yang telah mengangkangi fitrah kemanusiaan manusia dan menyebabkannya teralienasi dari tujuan memakmurkan bumi (khalifatulLah fil ardh) dan terasing dari hakikat serta tujuan hidup sebenarnya. WalLahu A’lam.